STIKES INSAN SE AGUNG BANGKALAN
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Ulama sepakat, dalam keadaan darurat seseorang diperbolehkan untuk
berdusta (suatu tindakan yang diharamkan Allah). Darurat di sini contohnya
adalah ketika ia didatangi oleh seorang lalim yang akan membunuh seseorang yang
sedang bersembunyi, ia boleh berbohong untuk melindungi orang itu. Atau ada
orang ingin merampas harta yang dititipkan kepadanya, ia boleh mengatakan tak
mengetahui keberadaan harta itu. Menurut para ulama, dusta demikian sangat
diperbolehkan, bahkan bisa menjadi wajib, demi menjaga jiwa dan kehidupan orang
yang terancam itu.
Dari berbagai contoh kasus yang disepakati oleh
para ulama, jelaslah bahwa kebolehan untuk melakukan sesuatu yang diharamkan
itu, dalam ajaran Islam, semata-mata demi untuk menghilangkan dlarar dan
menjaga jiwa pelakunya. Kebolehan ini didasarkan pada hadis Nabi saw.: lâ
dlarara wa lâ dlirâr (tidak berbahaya dan tidak membahayakan), yang kemudian
dirumuskan oleh para ahli hukum Islam menjadi kaidah al-dlararu yuzâlu (bahaya
itu [harus] dihilangkan). Dari kaidah inilah, kemudian dimunculkan dan
disepakati oleh para ulama kaidah populer al-dlarûrâtu tubîh al-mahdhûrât
(darurat dapat memperbolehkan hal-hal yang dilarang). Jadi, keadaan darurat
dalam qawâ’id fiqhiyyah dirumuskan sebagai sesuatu keadaan yang kalau tidak
dilakukan, seseorang bisa mati karenanya. Keselamatan jiwa adalah ukurannya.
Inilah yang menjadi sebab adanya keringanan atau penghapusan beban hukum selama
keadaan darurat itu belum hilang.
Dalam wacana ushûl al-fiqh, kondisi demikian
merupakan bagian dari kemaslahatan yang bersifat dlarûriyyah, yakni suatu
kemaslahatan primer dalam kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat,
yang jika tidak terwujud maka rusaklah kehidupan dunia, dan kehidupan umat
manusia akan terancam. Dalam ushûl al-fiqh, kemaslahatan dlarûriyyah meliputi
pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta (hifzh al-dîn,
hifzh al-nafs, hifzh al-’aql, hifzh al-nasl, hifzh al-mâl), sementara dalam
qawâ’id fiqhiyyah lebih ditekankan pada aspek pemeliharaan jiwa (hifzh
al-nafs). Keadaan darurat dalam ushul fiqh dirumuskan sebagai sesuatu keadaan
yang kalau tidak dilakukan, salah satu di antara komponen kehidupan yang lima
akan terancam. Jadi, keselamatan jiwa bukan satu-satunya yang dijadikan ukuran.
1.2
RUMUSAN MASALAH
Ø Apa
yang dimaksud dengan Darurat ?
Ø Dalil
apa saja yang memperbolehkan sesuatu yang diharamkan dalam keadaan darurat ?
Ø Apa
saja batasan darurat itu ?
Ø Apakah
hukum mengkonsumsi makanan yang haram dalam keadaan darurat ?
Ø Bagaimana
kaidah-kaidah yang berkenaan tentang darurat ?
1.3
TUJUAN
Ø Kita
bisa mengetahui pengertian dari darurat.
Ø Bisa
menjelaskan dalil yang memperbolehkan sesuatu yang diharamkan dalam keadaan
darurat.
Ø Mengetahui
batasan-batasan darurat.
Ø Menjelaskan
hukum mengkonsumsi makanan yang haram dalam keadaan darurat.
Ø Menjelaskan
kaidah-kaidah yang berkenaan dengan darurat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
darurat
Darurat secara bahasa adalah berasal
dari kalimat "adh dharar" yang berarti sesuatu yang turun tanpa ada
yang dapat menahannya.
Makna idhtirar ialah ihtiyaj ilassyai' yaitu membutuhkan sesuatu. Dalam
mu'jamul wasith disebutkan bahwa kalimat idhtiraru ilaihi bermakna seseorang
sangat membutuhkan sesuatu. Jadi darurah adalah sebuah kalimat yang
menunjukkan atas arti kebutuhan atau kesulitan yang berlebihan.
Darurat secara istilah menurut para
ulama ada beberapa pengertian diantaranya adalah:
- Darurat
ialah posisi seseorang pada suatu batas dimana kalau tidak mau melanggar
sesuatu yang dilarang maka bisa mati atau nyaris mati. Posisi seperti ini
memperbolehkan ia melanggarkan sesuatu yang diharamkan.
- Abu
Bakar Al Jashas, "Makna darurat disini adalah ketakutan seseorang
pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggata badannya karena
ia tidak makan.
- Menurut
Ad Dardiri, "Darurat ialah menjaga diri dari kematian atau dari
kesusahan yang teramat sangat.
- Menurut
sebagian ulama dari Madzhab Maliki, "Darurat ialah mengkhawatirkan
diri dari dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan.
- Menurut
Asy Suyuti, "Darurat adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana
kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau
nyaris binasa.
- Darurat
adalah menjaga jiwa dari kehancuran atau posisi yang sangat darurat
sekali, maka dalam keadaan seperti ini kemudaratan itu membolehkan sesuatu
yang dilarang.
2.2
Dalil-dalil yang menunjukkan diperbolehkannya sesuatu
yang diharamkan dalam keadaan darurat.
Pertama; dalil dari al quran
"Sesungguhnya Allah hanya
mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika
disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan
terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
Firman Allah, "Sedang dia tidak
menginginkannya" Artinya dalam memakannya sehingga melebihi yang
dibutuhkannya. Dalam firman Allah dan tidak (pula) melampaui
batas Artinya begitu seseorang mendapatkan pilihan memakan hal-hal yang
diharamkan tersebut iapun memakannya.
Menurut As Sa'dit, makna firman Allahl, "sedang dia tidak
menginginkannya" ialah seseorang memakan hal-hal yang diharamkan tersebut
semata-mata karena memang terpaksa. Bukan malah dengan menikmati atau merasakan
enaknya. Itu berarti ia menginginkannya. Adapun makna firman Allahl, "Dan
tidak melampaui batas" ialah makannya hingga melampaui batas kenyang.
Kedua; dalil dari as sunnah
عَنْ أَبِيْ وَاقِدٍ اللَّيْشِي قَالَ, قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّا
بِأَرْضٍ تُصِيْبُنَا بِهَا مَخْمَصَةٌ فَمَا يُحِلُّ لَنَا مِنَ المَيْتَةِ؟
قَالَ: اِذَا لَمْ تَصْطَبِحُوْا وَلَمْ
تَعْتَبِعُوْا وَلَمْ تَحْتَفِئُوْا بَقْلاً فَشَأْنُكُمْ بِهَا
Bersumber dari abu waqid al laits ia berkata, "Aku bertanya kepada
rasulullah n, "Rasulullah, kami berada disebuah daerah yang tengah
dilanda bencana ke;aparan. Apakah kami halal memakan bangkai? Beliau menjawab,
"Kalau memang kalian tidak menemukan makanan yang bisa kalian makan pada
pagi dan sore hari dan bahkan tidak mendapatkan sayuran yang bisa kalian cabut,
maka silahkan kalian makan bangkai itu.
2.3 Batasan-batasan darurat
Pertama, batasan darurat yang memeperbolehkan
sesuatu yang diharamkan.
Disebutkan dalam catatan pinggir kitab
al muqni', sesungguhnya darurat itu hanya yang berkait dengan kekhawatiran
terhadap kematian saja. Demikian menurut pendapat yang shahih. Pendapat yang
dikutib dari imam ahmad bin hanbal menyatakan, disebut dalam keadaan darurat
kalau seseorang yakin bahwa nyawanya nyaris terancam melayang kalau sampai ia
tidak mau memakan sesuatu yang haram. Ada yang berpendapat, tidak harus.
Seseorang yang takut akan terjadi resiko pada dirinya saja sudah bisa dikatakan
ia dalam keadaan darurat.
Menurut Imam Suyuthit, "Darurat
ialah posisi seseorang yang sudah berada dalam batas maksimal jika ia tidak mau
mengkonsumsi sesuatu yang dilarang agama ia bisa mati atau hamper mati. Atau
khawatir salah satu anggata tubuhnya bisa celaka.
Kedua, ukuran yang boleh dikonsumsi orang yang
sedang dalam keadaan darurat.
Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama, bahwa jika seseorang
mengalami rasa lapar yang cukup lama dan terus menerus ia boleh memakan bangkai
sampai kenyang. Hukum ini berlaku bagi makanan-makanan lainnya yang dilarang.
Maksudnya ia memakan sekedarnya saja, tidak boleh memakannya melebihi dari
kenyang.
2.4
Hukum Mengkonsumsi
Makanan yang Haram dalam keadaan Darurat
Al 'Izzuddin Bin
Abdissalam mengatakan, "Misalkan seseorang terpaksa harus
memakan barang yang najis ia wajib memakannya, karena resiko hilangnya nyawa
jauh lebih besar daripada resiko yang diakibatkan memakan barang-barang najis. Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Seseorang yang sedang dalam
keadaan darurat wajib memakan atau meminum sesuatu yang dapat mempertahankan
nyawanya. Jika ia terpaksa harus memakan bangkai atau meminum air najis lalu ia
tidak mau melakukannya hingga meninggal dunia, maka ia masuk neraka.
Dan berkata lagi, "Semua
barang-barang yang jelek itu diperbolehkan bagi seseorang yang sedang dalam
keadaan darurat. Dalam keadaan darurat ia harus makan bangkai, darah dan daging
babi. Dan dalam keadaan darurat pula ia harus meminum air sesuatu yang dapat
menyegarkannya seperti air yang najis dan air kencing.
Menurut pendapat yang di unggulkan,
dalam keadaan darurat seseorang wajib mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan.
Jika ia sampai menolak lalu mati maka ia berdosa, kecuali kalau ia memang
tidask tahu. Soalnya ia sanggup untuk mempertahankan hidupnya denga sesuatu
yang telah dihalalkan oleh Allah kepadanya. Jadi ia harus memakannya, sama
seperti kalau ia punya makanan yang halal.
Menolak mengkonsumsi bangkai dan
sebagainya hingga meninggal dunia sama seperti bunuh diri atau membawa pada kebinasaan,
karena dalam keadaan darurat perbuatan itu telah dijamin kebolehannya oleh
agama.
2.5 Kaidah-Kaidah yang Berkenaan tentang Darurat
Pertama, الضَـــرَرُ يُـــزَالُ (kemudharatan itu harus dihilangkan). Dasar kaidah
ini adalah firman Allah swt,
"Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi" [Qs Al Baqarah:
11].
"Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan." [Qs Al Qashas:77]. Dan hadits nabi saw,
لاَضَرَرَ وَلاَضِرَار
"Dan membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain"
Masalah-masalah hukum fikih yang
tercakup dalam kaidah ini banyak, misalnya:
- Didalam
muammalat, mengembalikan barang yang telah dibeli lantaran adanya cacat
diperboehkan. Demikian pula macam-macamkhiyar dalam transaksi jual beli
karena terdapat beberapa sifat yang tidak sesuai dengan yang telah
disepakati.
- Pada
bagian jinayat, agama menentukan hukumnya qishas, hudud, kafarat, menganti
rugi kerusakan, mengangkat para penguasa untuk menumpas pengacau atau
pemberontak dan menindak para pelaku kriminalitas dan lain-lainnya.
- Pada
bagian munakahat, islam membolehkan perceraian yaitu didalam situasi dan
kondisi kehidupan rumah tangga yang sudah tidak teratasi, agar kedua suami
istri tidak mengalami penderitaan batin terus menerus.
Kedua, الـــضَرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المَحْـــــــظُوْرَاتِ (Kemudharatan-kemudharatan itu
membolehkan hal-hal yang dilarang).
Ketiga, لاَحَــــرَامَ
مَعَ الضَرُوْرَاتِ وَلاَ كَــــرَاهَةَ مَعَ الحَاجَةِ (Tidak ada hukum haram beserta dharurat dan hukum makruh
beserta kebutuhan). Dasar kaidah ini adalah firman Allah Qs Al Baqarah: 173, Al
Maidah: 4.
Jadi kaidah ini dapat disimpulkan, bahwa
dalam keadaan sangat terpaksa, maka orang diizinkan melakukan perbuatan yang
dalam keadaan biasa terlarang, karena apabila tidak demikian, mungkin akan
menimbulkan suatu kemudharatan pada dirinya. Contoh: orang yang sedang
mengalami kelaparan. Makanan yang ada hanya bangkai saja. Bangkai ini baginya
halal dimakan. Didalam kondisi yang sama karena kehausan orang boleh minum
minuman keras, sebab yang ada hanya minuman keras itu saja.
Keempat, مَا اُبِيــــــْحُ
لِلضَّرُوْرَةِ يُقَــــدَّرُ بِقَدَرِهَا (Apa
yang dibolehkan karena adanya kemudharatan diukur menurut kadar kemudharatan).
Kelima, مَا جَازَ لِعُـــذْرٍ بَــطَلَ بِزَوَالِهِ (Apa yang diizinkan karena udzur,
hilang keizinan itu sebab hilangnya udzur)
Keenam, الـــــضَّرَرُ
لاَيُزَالُ بِـــــــالضَّرَرِ (Kemudharatan
itu tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan).
Ketujuh, دَرْءُ المَفَاسِدِ اَوْلَى مِنْ جَلْبِ المَصَالِحِ فَإِذَا
تَعَارَضَ مَفْسَدَةٌ وَمَصْلَحَةٌ قٌدِّمَ دَفْعُ المَفْسَدَةِ غاَلِبًا (Menolak kerusakan lebih diutamakan
daripada menarik kemaslahatan, dan apabila berlawanan antara mafsadah dan
maslahah, didahulukan yang menolak mafsadah).
Kedelapan, اِذَا تَعَارَضَ مَفْسَـــدَتَانِ رُوْعِيَ اَعْظَمُهُمَا
ضَرَرًا بِارْتِكَــــابِ اَخَفِّهَا (Apabila
dua mafsadah bertentangan, maka diperhatikan mana yang lebih besar madharatnya
dengan dikerjakan yang lebih ringan madharatnya).
Kesembilan, الحَــــــاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَرُوْرَةِ عَامَّةً
كــــــاَنَتْ اَوْ خَاصَّةً (Kebutuhan
itu menduduki kedudukan dharurat, baik hajat umum (semua orang) ataupun hajat
khusus (satu golongan atau perorangan).
Kesepuluh, دَرْءُ المَفَاسِد أَوْلىَ مِنْ
َجَلْبُ المَصَالِح ِ[menolak
kerusakan itu lebih didahulukan daripada mendatangkan kemaslahatan].
Dalam hubungan dengan kaidah ini, bahwa
kebutuhan seseorang itu ada 5 tingkat, yaitu:
- Tingkat
darurat, tidak boleh tidak, seperti orang yang sudah sangat lapar, dia tidak
boleh tidak harus mamakan apa saja yang dapat dimakan. Sebab kalau tidak
makan, dia akan mati atau hampir mati.
- Tingkat
hajat, seperti orang yang lapar. Dia harus makan, sebab kalau dia tidak
makan dia akan payah, walaupun tidak membahayakan hidupnya.
- Tingkat
manfaat, seperti kebutuhan makan yang bergizi dan memberikan kekuatan,
sehingga dapat hidup wajar.
- Tingkat
zienah, untuk keindahan dan kewewahan hidup, seperti makan makanan yang
lezat, pakaian yang indah, perhiasan dan sebagainya.
5.
Tingkat fudlul, berlebih-lebihan, misalnya banyak makan makanan yang subhat
atau yang haram dan sebagainya.
BAB III
PANUTUP
3.1
KESIMPULAN
Tidak mudah membolehkan
sesuatu yang dilarang, apalagi melarang sesuatu yang jelas diperbolehkan.
Menentukan suatu keadaan disebut darurat atau tidak juga bukan pekerjaan
gampang. Keadaan darurat dalam pemahaman ajaran Islam senantiasa merujuk pada
kondisi kehidupan manusia. Dalam kondisi di mana setiap insan bisa hidup secara
bebas, bahkan memiliki kebebasan berfikir , agak gegabah disebut keadaan
darurat, bila konsep darurat itu dalam wacana fiqih. Karena, sekali lagi,
ukurannya adalah keselamatan jiwa manusia. Oleh karena itu, limit waktunya juga
sangat singkat, yakni sebatas adanya jaminan kelestarian hidup dan keselamatan
jiwa dalam suasana keadaan darurat tersebut. Jika jaminan hidup dan kepastian
atas keselamatan jiwa itu diperoleh, maka hilanglah apa yang disebut keadaan
darurat. Pemberlakuan hukum pun menjadi normal kembali. Namun dalam wacana
ushul fiqih, ukurannya adalah bukan semata-mata keselamatan jiwa manusia,
melainkan lima komponen kehidupan (Daruriyat al-khams). Oleh karena itu, limit
waktunya bisa jadi tidak singkat, bahkan permanen, yakni selama tidak adanya
jaminan kelestarian salah satu di antara lima kompenan hidup tersebut. Jika
jaminan salah satu di antara lima kompenan hidup itu diperoleh, maka hilanglah
apa yang disebut keadaan darurat. Pemberlakuan hukum pun menjadi normal
kembali.
3.2
SARAN
Pada
hakikatnya, kemunculan hukum-hukum islam itu adalah dimaksudkan untuk menjaga kemuliaan
manusia dan memelihara kepentingan, baik yang bersifat khusus maupun umum.
Syariat-syariat langit menentukan ada lima kebutuhan yang berisikan: Menjaga
kehidupan manusia dengan mengharamkan membunuhnya, menjaga kehormatannya,
menjaga akalnya, menjaga hartanya, dan menjaga agamanya.
Syariat islam adalah merupakan syariat
terakhir yang membawa petunjuk bagi umat manusia. Dengan syariat itu Allah
telah memberikan beberapa keistimewaan, antara lain; hal-hal yang bersifat
umum, abadi dan meliputi segala bidang. Didalamnya telah diletakkan dasar-dasar
hukum bagi manusia dalam memecahkan segala permasalahan.
DAFTAR PUSTAKA
www.google.com
http:\\walidrahmanto.blogspot.com